THE LEGEND OF BUJANG PANE (PART II)
Posted by admin on Jul 13, 2018 in Prosa | 0 commentsKita tidak tahu siapa sebenarnya Bujang Pane. Penulis-penulis muda yang energik perlu menyusurinya lebih jauh. Catatan ini hanya pintu gerbang masuk ke dalam kehidupan Bujang Pane.
Bujang Pane adalah julukan karena kecerdasannya. Cerdas seperti Abu Nawas. Postur tubuhnya agak tinggi sedikit kurus, berjambang tipis, dengan sorot mata yang tajam seperti elang. Inilah “barangnya,” specialis pencuri.
Kehidupan masyarakat pada masa itu penuh keluh kesah. Susah hidup kecuali bagi orang-orang yang bekerja pada kantor-kantor pemerintahan. Petani kopi belum sehebat sekarang. Masyarakat masih berkarakter; orang belum melihat kesuksesan seseorang dari mobil atau rumah, tetapi kebanggaan keluarga ketika anaknya bisa kuliah di Banda Aceh atau Medan.
Demi kebanggaan itu, orang-orang tua bekerja jadi kuli, pedagang sayur, “mangan ongkosen”, sampai berhutang sebelum panen palawija, kopi atau padi. Bujang Pane seperti kebanyakan orang-orang pada masa itu juga hidup prihatin. Bedanya Bujang Pane “lebih pinter” mencari jalan pintas mengatasi persoalan hidup; yakni dengan mencuri.
Dalam perenungannya, ayat yang pertama turun adalah “Iqro” merupakan satu kata seribu bahasa. Menurut bahasa “Iqro” artinya bacalah. Namun menurut ilmu musyahadah bisa berarti “IQ rotation” artinya putar otak. Jangan pasrah terhadap kenyataan hidup. Allah tidak akan merubah nasibmu, sebelum engkau sendiri yang merubahnya.
Teorinya sudah oke, tapi prakteknya perlu perenungan yang lebih dalam. Pernah terpikir di benaknya, bahwa kata ulama sufi, untuk mendapat jawaban dari soal kehidupan “Bertapalah di dalam gua.” Ujang Pane bermain dengan fikiran liarnya. Apakah gua yang dimaksud gunung berlubang? Atau gua dalam bahasa Betawi artinya aku.
Akhirnya Bujang Pane mempraktekan opsi kedua dengan melakukan kontemplasi. Satu ruangan di sisi barat rumahnya, ukuran 1×1 meter dijadikan tempat khalwat. Wewangian bunga melati dipasang, mantra membakar kemenyanpun dibaca.
“Hey seriket Rasulullah asalmu kemenyan, Siti Putri namamu, Kamarullah nama batangmu, Aulia Allah baumu, engkau orang benar nan suci, sampaikan salamku kepada polan” (Bersambung)
(Mendale, 7 Juli 2018)